Tiga hari yang lalu aku pulang dalam keadaan sakit, langsung terkapar di kamar gak berdaya. Kerasa banget mukaku kaya kebakar, puanas. Aku baru sadar ternyata hari itu ayahku uda di rumah. Ibu sama Ayahku ada di sebelahku. Ibuku ndulang aku, ayahku mijetin kakiku yang cuapeeek gara-gara nginjek kopling sama ngajak aku ngomong, "Blablabla.. Oiya katanya kamu mau ke Australi ?"
"Iya, tapi pendaftarannya lo wes ditutup", "lhoo.. Yowes salahmu, Mbak". Sebelumnya, aku emang pingin banget pergi ke luar negeri, tapi pikiranku pendek banget. Aku mikirnya aku gabisa lancar ngomong bahasa inggris, takut disananya ngaps. Terus ada peraturan kalau yang ikut program itu, mau gak mau harus mau menerima murid luar buat tinggal sama kita, masalahnya sekeluargaku ga ada yang lancar bahasa inggrisan, mau diapain tuh anak. Tapi kalau aku pikir-pikir lagi, kan bisa buat pengalaman sama pelajaran. Tapi semuanya udah terlambat.
Barusan, aku ke kamar orang tuaku, cuma buat shuffling-an gak jelas gitu. Ayahku tiba-tiba bilang, "Mbak, kamu cario beasiswa ke luar negeri sana lho gakusah Twitteran ae, terserah dimana pokoknya Ayah pengen lihat anaknya sekolah di luar negeri". Ngh kon -__- Harusnya di sekolahku ada seleksi gitu buat kuliah gratis di Jerman kaya Mas Boma. Tapi aku terlambat lagi, harusnya dari kelas X aku tekun belajar Jerman, ikut belajar intensif Jerman, jadi aku bisa ikut ujian A1 dan lulus dengan nilai memuaskan, terus dikirim ke Jerman.
Dari dulu emang menurutku kemampuan bahasaku itu jelek, berbahasa Indonesia yang baik dan benar aja ribet kok gimana bahasa lain, mungkin itu yang bikin aku males berkecimpung di bidang linguistik dan persoalan keluar negerian. Mulai harus dibenahi sepertinya keyakinan yang gak bagus ini.
Ya, yang penting intinya semua terlambat. Penyesalan selalu datang di akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar